Rabu, 20 Februari 2008

BERSEPEDA DI HUTAN SEBAGAI HOBI






BERSEPEDA DI HUTAN SEBAGAI HOBI



Isi blog ini berbeda dengan isi blog-ku yang lain, ini adalah cerita tentang hobi yang tiba2 timbul sebagai pembunuh waktu.
Sayang sekali banyak klise foto yang sudah hilang, sehingga hanya bisa mereprepro dari foto-foto yang ditemukan dan hasilnya ternyata kurang memuaskan.

Bermula dari penempatanku tahun 1992 di Propinsi Jambi sebagai tenaga medis yang masih langka. Semua Propinsi di daerah Sumatera sudah kukenal , tetapi dimanakah letak Jambi ?
Mungkin pelajaran ilmu bumi ku dulu memang jelek, akhirnya kubuka peta Sumatera, ternyata ada di pantai timur Sumatera, berbatasan dengan Sumatera Selatan.
Ternyata kota Jambi cukup bersih, tertata dengan rapi terutama daerah perkantorannya, dan yang menyenangkan ada trotoar untuk pejalan kaki di semua ruas jalan, bagiku sangat penting karena dapat tetap jogging seperti waktu kuliah di Bandung.
Bulan pertama hari-hariku hanya diisi dengan jogging setiap sore di lapangan depan Kantor Gubernur dan dekat dengan Rumah Sakit tempatku bekerja, cuaca bulan Agustus sangat panas namun hanya itulah yang bisa kukerjakan untuk membunuh waktu.
Sesekali berkeliling sepeda dengan sepeda federal yang kubawa dari Bandung, namun terasa tidak aman karena banyak angkot yang tiba-tiba berhenti mendadak.

Beberapa bulan kemudian aku mulai mendapat teman yang juga hobi bersepeda. Mulailah kami bersepeda setiap sore sejauh 10 km pulang pergi menuju tepian sungai Batanghari, namun melewati pinggir kota sehingga aman dari angkot.
Semakin lama semakin bertambah penggemar sepeda di sore hari dan timbul ide dari seorang teman yang bekerja sebagai sekretaris camat..bagaimana kalau kita bersepeda ke hutan ?. Sebagai orang lapangan dia mengerti seluk beluk kota Jambi.
Memang semua sepeda kita adalah kategori mountain bike yang dilengkapi dengan gigi untuk deaerah tanjakan tetapi belum pernah digunakan karena selama ini selalu didaerah datar.
Ide ini penuh dengan tantangan dan belum pernah ada yang melakukan, mengapa tidak menjadi pionir ?


Akhirnya aku bertiga dengan temanku mencoba membuka jalan bagi teman teman lain yang ternyata sangat antusias dengan ide tersebut.
Pada waktu itu 10 km keluar dari kota Jambi kita masih bisa menemui hutan karet rakyat dan pepohonan lain yang masih lebat dan dihuni beberapa binatang antara lain : babi, monyet, bahkan rusa yang cukup besar.
Kami mengikuti jalan setapak didalam hutan yang dibuat oleh para penyadap karet untuk mengangkut hasil sadapannya dengan sepeda atau sepeda motor.

Hari pertama perjalanan sangat melelahkan, bersepeda di jalan raya dan di daerah hutan sangat berbeda, baru setengah jalan kita sudah menyerah dan kembali ke kota. Tidak diduga banyak tanjakan, turunan, tikungan bahkan sungai kecil di dalam hutan, sehingga perjalanan benar-benar sangat menguras tenaga.
Beberapa hari kemudian kita mencoba jalur lain dengan harapan mendapat jalur yang tidak terlalu terjal atau sulit. Dalam masa pencarian kami selalu melengkapi sepeda dengan lampu, penambal ban instant, pompa sepeda untuk mengantisipasi keadaan yang buruk, dan tidak lupa ransel yang diisi makanan dan minuman.


Akhirnya kita mendapat 4 jalur dengan tingkat kesulitan yang berbeda-beda. Setelah jalur dirasa aman dan dapat dilalui maka kelompok sepeda gunung Rumah Sakit siap untuk beraksi.

Mulanya berbagai keluh kesah dan umpatan ditujukan kepada kami karena sulit dan terjalnya medan, apalagi di musim hujan sangat licin, sepeda tidak dapat dikendalikan dan kita sering jatuh bangun hingga badan babak belur.




Ternyata lama kelamaan mengasyikan juga dan hampir setiap sore baik panas maupun hujan kita selalu bersepeda ke hutan yang kita tempuh dalam 3 jam pulang pergi.
Beberapa dari kamipun sudah mempunyai sepeda gunung yang ringan sehingga dengan mudah dapat diangkat bila menemui medan yang tidak dapat dilalui, juga dilengkapi pemindah kecepatan dengan gigi yang banyak sehingga mudah menaklukkan tanjakan. Bahkan ada yang dilengkapi dengan ban sepeda yang terbuat dari kevlar yang sangat ringan, kuat anti bocor dan harganya pada saat itu sama dengan harga ban mobil !

Udara di hutan terasa masih sangat segar dengan bau pepohonan dan kicauan burung hutan, teriakan monyet-monyet, semuanya membuat hilang rasa lelah.

Akhirnya dengan berjalannya waktu dan bertambahnya umur, banyak penggemar sepeda gunung yang mengundurkan diri karena beratnya medan, pindah tugas atau sakit , tetapi yang sangat disesalkan adalah hilangnya hutan-hutan tersebut karena telah menjadi perumahan dan pertokoan.

Dengan demikian hilang pulalah lahan untuk menyalurkan hobi bersepeda gunung yang sangat jarang digemari karena penuh dengan medan yang menantang.